Minggu, 24 Maret 2013

Goresan Bergeming

selama ini tak ada sesal yang melumatkan keras yang bertahta pada sisi antagonisnya


Sekian kali, sekian waktu saat aku selalu menggambarkan gurat-gurat itu dengan pencitraan antagonis pada sisinya.

wahai gundah ketika kau tak mampu mengatasnamakan sabar untuk melawan sedih gulana yang menggumpal pada pikiran dirimu atas terpaan api lidah dari sang antagonis yang memang merebut keberpihakannya dari sisimu maka dendangkanlah satu kata kemenangan yang tak mampu dia tepiskan. Antagonis itu hanya bagian kekalahannya. ketika dia menggunakannya sebagai senjata yakinlah sesaat kemurkaan itu akan mengarungkan kehidupannya sendiri sehingga luput dari kekokohannya. Dia akan runtuh dengan sendirinya.
Kala itu, keberpihakannya akan kembali pada sisi yang mampu bertahan dengan kebaikannya.


Dera itu adalah kata
kata yang mengikat leher hingga nyaris tak mampu bernafas
bernafas dengan lega
karena semua itu hanyalah bagian ilusi yang tak bertuan
amarah yang memarahi pribadinya sendiri
menenggelamkan kekuatan yang ada pada dirinya
diamlah
semua keberpihakan mengarah padamu



Selasa, 05 Maret 2013

Memoar Merah

Musim baru cerita baru pula. Ada terpaan yang melapukkan senja menjadi memor merah enghancurkan warna jingga. Liput sekitaran yang tampak maya .Bernostalgia dengan cerita lama yang telah usang. Memoar merah yang terkait dengan warna-warna lain. Berpadu sehingga menyatukan leraian pertama, kedua, ketiga, dan berikutnya.

Banyak sketsa yang tak sempat berbentuk pada kenyataan itu. Sketsa yang hanya sekadar fiktif dan tak bertuan. Banyak perhatian yang luput dari sisi umum karena yang tampak hanya sisi kecil yang tertutup oleh kabut kehidupan.

Merah itu adalah amarah yang membuncah. Melekat pada sisi antagonis yang kerap mencibirkan kesalahan pemahaman akan luruhnya hati karena bual yang tak kau sangka. Memoar itu bagian kecil pada pelataran cerita. Hanya secuil. Merah itu menyala menyalahkan yang tak seharusnya disalahkan. Merah itu pula berkata dengan ilokusi yang tak tertargetkat. Merah itu lengah pada kenyataan yag tak berpihak. Merah meninggalkan hakikat berani yang sesungguhnya. Berani yang tidak ditempatkan pada tempatnya. Jagoan yang meninggalkan esensi merah yang sebenarnya. Memoarnya kelam, kelam yang pekat dan pahit.


*memoar merah itu akan berlalu

Gurat Violetta


Gugur dedaunan yang kuning menutup rumput di sekitar pelataran, tampak tukang sapu yang senantiasa melaksanakan tugas kesehariannya. Menilik sisi lain, langit kali ini tampak cerah dengan terik yg mengucurkan peluh pada rutinitas bahkan yang ringan sekali pun. Tampak jejeran kursi penuh, tentunya dengan kepentingan yang beragam. Dan daku pun di sini duduk melihat sekitaranku, melihat mereka yang sedang menjalani rutinitasnya masing-masing. Kuhela nafas biasaku dengan menghirup dalam2 sembari mengeluarkan ocehan sengit tentang peduliku pada kisah violetta yg kian hari kian tertinggal waktu. Ingin segera rasanya segenap pikiran, tenaga dan perasaan ini beranjak dengan meninggalkan kekhawatiran yang mencuak ini dan mengubahnya menjadi nyata yang mengukir senyum tapi apalah daya kenyataan tetap berbanding terbalik dengan harap. Jadi selanjutnya mengulang harapan lagi sampai demikian yang indah dapat merona dan memekarkan senyum. Menapaki jalan, menyusuri ada di sepanjang gurat Violetta objek yg kutuju kian samar.

Saat hatiku tak terpahami, sekitarku tiada yang bergeming, bahkan iba akan lukaku pun tak ada lagi. Ku menengadah pada langit lepas melihat jagad yang tiada berujung hingga hadir lagi asa-asaku bahwa dunia ini masih begitu luas, masih banyak tempat yang ingin ku jejaki. Masih banyak hal yang akan kutemui. Pikiran sempit ini tak sebanding dengan dunia. Bangkitlah kembali pucuk-pucuk yang mulai layu, hingga memekarkan senyum-senyum sederhana.

Menengadah pada cerita yang kulalui, terlalu banyak pemaknaan yang kusia-siakan jika menemui kegagalan yang sama. Pengertian akan hakikat hidup pun samar ketika ku tidak mampu bangkit dan menopang kelemahanku yang telah mencuak. Saatnya ku hidupkn daya-daya yang bisa menjadikanku kembali mencibirkan kalimat “hidup itu indah”.


Sejenak kembali melihat sisi lain dari perih, perih itu pula yang mengajarkanku banyak hal  yang bisa membuatku kembali  menopanng segala lemah yang ada pada pribadiku yang kerap kehilangan kekuatan. Bahkan tatapanku pun kerap tak berdaya ketika menemui kesulitan. Hingga tatapan ak berdayaku itu kini samar dan muai menunjukkan warna baru. Gelap, samar, dan tak ada lagi, aku pun terjatuh tak sadarkan diri. Tapi satu hal yang selalu ku tahu ketika mataku kembali terbuka dan masih diberi kesempatan melihat dunia aku pun kemballi melihat warna dunia. Masih kutemui merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ragam warna lai yang kan memukau hidup. Gelap dan hitam tak selamanya menutup dunia yang berwarna. Gelap dan hitam tak selamanya menjadi hantu yang menghalangi cerah. Gelap dan hitam hanyalah bagian kecil dari kehidupan yang berwarna.
Tetap melangkah meski tersandung, tetap melangkah meski terjatuh. Karena setelah tersandung  tetap tak jatuh, dan jatuh pun masih bisa bangkit. Tetap melangkah meski tak tau jalan. Karena tetap di tempat mustahil meraih tujuan. Tetap melangkah dan bertanya pada diri, pada hidup, dan pada alam karena jawabannya akan ditemukan tidak hanya dengan diam di tempat.