tak perlu lengah
tak perlu lagi bersedih
jangan biarkan gundah mendekapmu
cepatlah beranjak dan bangkit
ini bukan saatnya untuk merasakan sakit
waktunya melawan sakit
Seketika saat jemariku beraksi, mengingat sesuatu dera yang telah dicuakkan sang pelakon. Mengingat luka yang katanya sedang dirasakannya disekujur tubuh. Dan juga ikut merasakan sepi yang diungkapkan pelakon itu dalam derai-derai subuh yang dia suarakan lewat seluler.
Ketika dunia luar masih kabut karena udara dingin yang menyelimuti kota. Pelakon yang menjelang lelapnya karena tekanan tak bisa rehat sesuai waktunya.
mulai hari itu aku hanya ingin mengatakan lebih baiklah dari harimu hari ini.
Rabu, 19 Maret 2014
Jumat, 14 Maret 2014
Hari Ini
Ini adalah hari
hari yang akan datang karena hari kemarin
Hari yang akan berlalu karena hari esok
Hari ini layaknya hari yang sebelumnya
Hari yang akan berlalu karena hari esok
Hari ini layaknya hari yang sebelumnya
Dicumbu oleh paradoks yang kian mencekik
Hari ini pun adalah hari yang kaku
Kaku karena perjuangan yang masih secuil
Hari ini juga adalah hari yang mekar
mempersembahkan keindahan
Indah bagi keindahan
Indah bagi keindahan
Hari ini......
aku menulisnya
Babak Aku Ingin Tahu
Dimikian masa kulewati dengan tersenyum melihat bunga bermekaran, bintang gemerlapan, dan anak-anak berkejar-kejaran. Dunia pada salah satu sisi yang membuatku selalu tersenyum. Sampai pada sebuah titik yang membuatku ingin tahu. Aku mulai dapati hari dari sisi kalut.
Kian hari kisah kian kalut. Aku mulai merangkai alibi-alibi yang selama ini takkudapatkan. Aku bahkan mulai mendapatkan titik terang yang menghilangkan segala anggapanku selama ini terhadap pangeran kesiangan yang selalu membuatku bangga. Perkataanku tempo hari pada temanku “ada sisi lain pada dirinya yang tak bisa kudapatkan dari siapa pun” seolah setelah saya mengucapkan kata-kata itu keadaan mulai bergeser karena tak kudapatkan lagi yang kucari, tak kutemukan lagi kesungguhan kata-kata itu. Aku mulai bingung sebenarnya kisah ini adalah kisah apa? Kisah violet pun telah bergeser akan kusebut sebagai Sembilan matahari juga telah meninggalkan konflik semua. Atau apakah ini lembaran baru dengan judul baru. Aku masih berpikir sejenak pada diriku sendiri. Tak mengerti dengan semua kata dan tingkah yang selama ini.
Kian hari kisah kian kalut. Aku mulai merangkai alibi-alibi yang selama ini takkudapatkan. Aku bahkan mulai mendapatkan titik terang yang menghilangkan segala anggapanku selama ini terhadap pangeran kesiangan yang selalu membuatku bangga. Perkataanku tempo hari pada temanku “ada sisi lain pada dirinya yang tak bisa kudapatkan dari siapa pun” seolah setelah saya mengucapkan kata-kata itu keadaan mulai bergeser karena tak kudapatkan lagi yang kucari, tak kutemukan lagi kesungguhan kata-kata itu. Aku mulai bingung sebenarnya kisah ini adalah kisah apa? Kisah violet pun telah bergeser akan kusebut sebagai Sembilan matahari juga telah meninggalkan konflik semua. Atau apakah ini lembaran baru dengan judul baru. Aku masih berpikir sejenak pada diriku sendiri. Tak mengerti dengan semua kata dan tingkah yang selama ini.
Sebenarnya buat apa kata melindungiku itu jika sebenarnya hanya sekadar kata yang malah menusuk? Sebenarnya apa maksud dari definisi yang kau berikan padaku tentang apa yang sebennarnya?
Tantang aku dengan berani! Aku mulai muak dengan keadaan yang mempermainkan dirinya sendiri. Entah alasan apa yang dapat menjawab segala ini. Jawaban apa sebenarnya yang pantas untuk mendeskripsikan tentang semua yang tidak pernah kuketahui. Tentang semua cerita yang ke sana ke mari tertiup badai. Entah dusta atau ini adalah sesuatu yang sebenarnya melenakan atau malah sesuatu yang membuat kau mabuk hingga mata angin pun tak kau kenali. Akhirnya tersesat bukan?
Aku ingin berontak, tapi apa pula alasan yang bisa membuatku melakukannya. Aku ingin pula banyak tahu, tapi siapa pula sebenarnya aku yang bahkan sudah tak bisa kau kenali dengan sorot. Dan terakhir aku ingin pergi dan menghilang, tapi dengan jelas kukatakan aku terlalu jauh masuk dan melangkah begitu jauh, pantang untuk melangkah mundur tuk menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.
Ini sebenarnya adalah arus yang mnyeretku terlalu jauh hingga nyaris terperangkap dalam penjara. Selama ini aku diam, ternyata diam itu yang menyebabkan spekulasi berlanjut dan berlarut. Aku ingin pula berkata dengan sederhana, tapi ini adalah guratan rumit yang diciptakan oleh kau yang kukenal begitu sederhana.
Selama ini aku tak berkata karena kuberpikir diam adalah intan bagiku, tapi ternyata tidak. diamku tak akan jadi intan tanpa kebenaran. Selama ini aku hanya membaca semua yang tak berkenang itu dari sosok dia yang hadir karena kau dengan menelan ludahku dengan sabar karena anggapan bahwa sesungguhnya yang tak terkenang itu bukan daku, jadi buat apa saya merasakan demikian? Selama ini aku melihat ketidaktimpangan yang kau tabur disebanjang tamanku yang indah, tapi aku hanya diam. Kupikir benih itu akan tumbuh dan bermekaran nantinya, tapi ternyata tidak karena sebenarnya itu adalah tanaman yang malah mengganggu bermekarannya bunga-bungaku.
Aku kembali pada alasan kesabaranku untuk tak mencuakkan tumpukan atau bongkahan ketidaknyamananku terhadap alur yang begitu lancang menyeretku dengan arus yang tak pernah tenang. Alur ini selalu beriak. Sabarku ternyata kembali diuji.
Aku kini ada dengan suaraku untuk kebenaran, aku kini hadir dengan kataku yang pernah tertahan dalam lubuk sabarku.
*bersambung
*bersambung
Kata Tak Bertuan
Kusebutnya sebagai kata tak bertuan karena ku tak dapati dari mana untaian itu berasal. Yang kutahu untaian itu untukku yang sedang berpikir tentang kehidupan.
Ketika untaian itu tak memetaforakan kata. aku mengerti, aku bahkan tahu dan bisa menginterpretasikan dengan mudah. Hanya saja kenyataannya begitu susah. Susah untuk kuketahui ....
Maaf pemilik untaiannya, aku menulis tentang ini. Kumasukkan pada episode hampir ending
Ku tak bisa menghapus kisah ini.
Ku tak ingin melukai seseorang yang akan menjadi sasaran
dari semua.
Ku tetap menjaga ketenanganmu meski kuharus berusaha tunduk
hingga waktu itu akan tiba masanya.
Ku tak pernah ingkar
Ku tetap menepati yang pernah kulontarkan
Meski dunia hanya bisa diam melihat kekacauan ini
Waktu segera datang melapas kekacauan itu
****
kelak ketika salah seorang yang membaca tulisan ini, buat aku mengenali kembali siapa dirimu.
Ketika di Bawah Langit Malam (Anadiolakah Tum) *Cerber
Malam ini ada yang ingin kau ketahui. Iya mungkin itu adalah kesalahanku karena tak pernah membuatmu tahu tentang perasaanku yang tidak pernah hilang.
Sayang saya juga tidak mengerti dengan analogimu itu. Saya sama sekali tidak mengerti analogi yang bisa membuatmu mendapatkan jawaban itu dariku. Analogi yang sungguh membuatku bingung ketika kau mencoba mendapatkan sesuatu dibalik saya ada.
“jika kau ingin memberiku makan, apa yang kau inginkan membiarkan saya mengunyah atau membiarkan saya langsung menelan?” itu adalah pertanyaan darimu yang membuat saya begitu terheran-heran dan tidak dapat menerima maksud apa yang sebenarnya dibalik kata-kata itu. Sesungguhnya aku pun bingung sendiri harus memulai dari mana sebenarnya penjelasanku ini untukmu.
Pertama ingin kuutarakan ketidakenakannya perasaanku yang terseret masuk dalam kisahmu.
“kau menangis tersedu-sedu, dengan penuh isak karena perasaan yang begitu tersiksa dikarena dia sang antagonis yang menyeretmu jauh meninggalkan keadaan yang sebenarnya. Dan membuatmu menyandang gelar seorang munafik. Sebenarnya bersumber dari antagonis itu semua. Kenapa demikian? Iya karena yayng kau katakana didepanku sesungguhnya begitu bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Itu hal yang sebenarnya melandasi saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya kau munafik. Dan terlalu mempermainkan saya dengan kata-kata yang demikian.
“kau menangis tersedu-sedu, dengan penuh isak karena perasaan yang begitu tersiksa dikarena dia sang antagonis yang menyeretmu jauh meninggalkan keadaan yang sebenarnya. Dan membuatmu menyandang gelar seorang munafik. Sebenarnya bersumber dari antagonis itu semua. Kenapa demikian? Iya karena yayng kau katakana didepanku sesungguhnya begitu bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Itu hal yang sebenarnya melandasi saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya kau munafik. Dan terlalu mempermainkan saya dengan kata-kata yang demikian.
Kata-kata yang demikian itu adalah berawalnya permainan, dirimu telah menyeretku masuk. Yang kedua, kau selal dengan lancing mengatakan tentang ketidaknyamananmu dan keinginanmu untuk pergi darinya, tapi hingga sampai detik ini aku sama sekali tak menemukan apa pun bukti benarnya kata-katamu itu.
Ketiga hal yang paling mendasar, berapa banyak temanmu yang telah pergi darimu dan mengembangkan pikiran tentang tabiat yang kau miliki karena sikap antagonis yang sebenarnya? Kau tak pernah sadar atau pura-pura menutup mata tentang semua ini. Kau selalu bilang akan pergi darinya, tapi semakin membiarkan dirimu dalam hal ini justru akan membuatmu semakin jauh dari keinginan untuk beranjak itu. Apalagi yang hendak kau katakana di depanku. Analogi apa lagi ayang akan kau berikan sehingga kau bisa mengerti sesatu yang sebenrnya kuinginkan. Sederhana tak dengannya lagi.
“cinta tak harus memiliki”, demikian esensi cinta ketulusan yag sesungguhnya. Tahukah kamu? Hal yang kau alami saat ini tidak mencerminkan cinta sama sekali, melainkan sebuah keegoisan yang mengikatmu.
Tahukah kamu betapa setiap orang berpandangan bagaimana terhadapmu? Dan tahukah kamu aku tak rela melihatmu diperbudak oleh keadaan yang seperti ini. Dan yang lebih harus kuketahui bahwa perasaanku yang seyigiayanya pernah mencintaimu sekarang pun masih tetap mencintaimu. Apa yang harus ku lakukan agar bisa membuatmu yakin bahwa aku masih mencintaimu. Bahkan, berani kukatakan pada mereka yangmendengarku bahwa ada sisi berbeda yang tak bisa kudapatkan dari siapa pun tentang dirimu. Tapi, jangan sampai semua itu hilang karena keadaan kini yang telah menyangkalnya. Jangan sampai kenyataan menyangkal bahwa saya harus menyimpan perasaan yang demikian terhadapmu.
Apa lagi yang harus kukatakan untuk memetaforakan apa yang kurasakan, karena perlu kau catat aku sama sekali tidak ingin mengatakan yang sebenarnya di depanmu. Aku ingin kau yang mendapatkan semua isyarat itu. Tapi tidak. apakah kau terlalu bodoh. Mungkin ketika kutulis seribu kali kau tidak akan mengerti dengan membacanya atau bahkan membacanya pun tak kau lakukan. Aku sungguh tak mengerti dengan keadaan ini. Keadaaan yang kusebut mempermainkan aku. Keadaan yang membuatku belajar ikut bermain dalam kekonyolan cinta yang tidak dewasa sama sekali.
Cinta yang tak bisa disebut cinta. Karena bukankah yang sebenarnya cinta adalah aku yang selalu ada meski tak pernah kau anggap dan tak pernah kau tahu tentang semua yang kulakukan selaama ini? Bodoh bukan?
Tidak yang lebih bodoh karena kaujatuh pada lubang yang kesekian kali. Dan jangan sampai saya membandingkan kau dengan dia yang kusebut sebagai kekasih, karena sesungguhnya peranmu tak akan mampu menandingi dia sebagai orang yang kusayangi dan kucintai seutuhnya yang berhasil mengalihkan perhatianku dari mencintaimu yang begitu sakit. Yang mengalihkan perhatianku yang mencontaimu yang begitu bodoh. Serta yang mengalihkan perhatianku yang menyayangimu demikian tapi terbalas dan tak dihargai. Apa yang bisa membuatku menandingi dia dank Kau.
Ternyata Dia Superzero bukan Superhero
Duka kehilanngan mulai membuncah,
tetapi alur mulai berubah dari sketsa sebelumnya. Aku tak pernah menduga ini
sebelumnya. Awalnya kuanggap dia akan tetap menjadi pangeranku. Meskipun hanya
pangeran kesiangan dugaanku dia akan tetap bertengger dihatiku. Semua itu
hipotesis yang tak dapat kubuktikan kebenarannya karena nyatanya aku telah
mengimajinasikan kisah baru dari semua ini. Tidak hanya tersuruk dan kerap
mendapat bayangan darinya. Dia dengan
peran pangeran yang melekat dikepalaku bergeser menjadi antagonis yang
tak akan kuceritakan di ending pengisahanku dan kehidupanku. Kerajaan yang
kubayangkan semulanya yang menghadirkan diriku sebagai ratunya dan dia sebagai
rajanya cukup sampai di sini. Cukup sampai pada penjejalan tak berlanjut ini.
Berujung pada ketidakpercayaan yang mengakar. Berakhir dengan pengingkaran atas
semua janji yang pernah terucap. Tamat bersama cerita yang tak sempat kuselesaikan.
Terjawab tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Diam tanpa kata seolah
mempermudah semua itu. Alas an tanpa pembelaan atas tuduhan membuat kesatnya
jalan yang ditempuh menjadi sangat licin. Demikian pula dengan kata-kata yang
kuharap membuatku tuk tetap bertahan pada alurnya yang tak kunjung terucap.
Hingga satu pilihan tepat dan pasti aku harus menenggelamkan pulau yang
kubangun dengan khayalan yang berending kebahagiaan.
Semua berawal dari terkuaknya pribadi
pangeran kesiangan yang mempunyai komitmen bercabang. Berawal
dari kemelut berkepanjangan yang tidak disikapi dengan bijak olehnya. Hanya
beratapkan kepasrahan hingga menyebabkan serangan-serangan meteor semakin
mematikan rasa yang ada dan terkiprah. Hanya menggunakan media daun kering
untuk melukis namaku dan namanya sehingga sekali kepercayaanku rusak tak bisa
kembali. Layaknya daun kering tempat menuliskan nama kami berdua itu adalah
kertasnya, dan kepercayaan itu adalah kertas itu. Sekali di genggam hingga
kertasnya lusuh, kertas tersebut tak akan mungkin bisa kembali seperti semula.
Tak akan rapi seperti semula. Tak akan kembali pula sama persis keadaan
sebelumnya. Apalagi ini dia hanya menulis namaku dan namanya di atas daun
kering sehingga sekali genggam, bukan hanya lusuh yang menjadi akibatnya. Daun
kering telah terberai dan hancur hingga namaku dan namanya tak akan mungkin
bisa dirangkai kembali. Semua itu hanya bisa dikenang. Itu pun hanya
kemungkinan kecil yang bisa terjadi. Dia bukan lagi superheroku. Dia telah
menjelma menjadi superzero setelah mengenal putri antagonis dari negeri
seberang. Semua keadaan sekarang berbanding terbalik dengan keadaan sebelumnya
yang pernah kualami. Dia yang sekarang bukan lagi dia yang ku kenal dulu.
Senyumnya yang dulu menjadi semakin kaku. Tatapannya yang awalnya begitu tajam
tanpak hampa tanpa makna apa pun. Hadirnya yang tak ingin melihatku
mengeluarkan butir bening dari kedua mata iini dia ingkari. Dia selalu
membuatku mengalirkan butir bening pada kedua mataku tanpa ada keinginan untuk
menyekaku. Kata maaf yang selalu dipinta ketika secuil salah dia lakukankan
padaku tak ada lagi. Dia sama sekali kehilangan kata-kata itu. Dia seakan
kehilangan jiwa bijak yang melekat pada dirinya. Langkahnya yang senantiasa
mendekatiku tak lagi dia lakukan. Langkah itu semakin menjauh dan ingin pergi
dariku. Dia tak lagi mengingatkanku untuk impian-impian yang belum kugapai, dia
sama sekali tak memberiku semangat untuk hal-hal yang membuatku jatuh, dia juga
tak lagi bias menypkongku ketika erjatuh. Dan yang lebih mengusirku dari
sisinya dia tak lagi mencintaiku.
Setiap kata-katanya yang pernah dia
lisankan dan terdengar telinga ini berbanding terbalik dengan yang dia lakukan
kini. Setiap tulisannya tentangku yang pernah kubaca tidak lagi menunjukkan
realita. Kini hanyalah bfiktif belaka.
Ini sungguh tidak adil bagiku, dia
kembali dengan maksud yang berkedok. Dia memintaku untuk membantunya melakukan
hal itu lagi. Memintaku unntuk mengerjakan segala tentang kebutuhan
akademiknya. Ini sungguh lucu. Kemana jawaban dan peredam yang membuatku untuk
meredam amarahku dan membalut lukaku ketika luka? Kamu hanya diam kan. Hanya
mempertahankan kekasih antagonism itu akan mengantarmu pada pintu kehancuran.
Dia sama sekali tidak pernah mengerti, tidak pernah memahami hakikat pengorbanan
nyang sebenarnya.
Kembali untuk cerita yang sekian dan
babak sekian saat kau datang padaku karena alasan telah berpisah dengannya.
Lagi-lagi hatiku ditambah kalut dan menemukan penilaian yang begitu sadis
tentang kekasih yang selalu membuatmu berbohong padaku. Kali ini dia kembali
mengusikku. Mengusikku dengan kata-kata yang lukanya tak terkira. Kau memang
tak tahu dan tak pernah tahu, karena dari awal memang tak pernah kau mengerti
dan kau pahami. Yang ada hanya pikiran egoismu aku dan dia. Serta perasaan
egoismu yang menyimpan namanya serta menyisakan pula sedikit ruang untuk namaku
yang pernah memenuhinya. Mungkin kelak malah akan hilang atau tak ada lagi
namaku di sana. Miris, entah apa yang akan kutuliskan nantinya jika itu
benar-benar terjadi.
Senin, 03 Maret 2014
Puzzle Makan, Suap, Kunyah, Telan
Suatu malam ketika langit tampak gelap tak berbintang juga tanpa rembulan. Pada hawa lembab tanah karena hujan yang baru saja reda. Di bawah cahaya remang lampu jalan kompleks. Hawa dingin pun terasa bukan karena malamnya yang mulai larut, namun karena memang lembab habis hujan yang menyebabkan demikian.
Percakapan pun dimulai ketika itu, percakapan yang menawarkan sebuah analogi yang membuat tidurku tak nyenyak dari pemilik nama aku masih ada. Bahkan sepanjang malam saya berpikir tuk menemukan makna yang ingin disampaikan lewat kata-kata itu. Semua itu bak sebuah puzle yang begitu rumit yang penuh dengan tanda tanya dan misteri yang tak bisa terpecahkan. Saya tak pernah mengerti dengan semua ini.
Mengawali dari sebuah pertanyaan tentang makan, suap, kunyah, dan telan.
Semenjak mendengar kata-kata itu pekaku untuk memaknai itu sama sekali tak tergambar. Saya sama sekali tak punya bayangan tentang pertanyaan yang mencari jawaban tentang hal yang selama ini kulakukan. ketika saya mulai merangkai, sama sekali samar, sama sekali tak tampak dari nalar dan logis berbagai sisi tak kudapati kata yang bisa membuatku bisa menjawab dengan tegas.
Beranjak dari pertanyaan itu keingintahuanku untuk sebuah sosok dengan laskar aku masih ada semakin menggebu. Ya aku ingin tahu banyak tentang sosok itu, sosok yang penuh dengan ketidakpastian. Sosok yang menyembunyikan segala hal. Sosok yang melakukan segala hal untuk tujuan yang tak bisa ditebak. Demikian pengantar dalam memulai episode demi episode yang akan berlanjut tentang objek yang kusebut pemilik laskar "aku masih ada". Tanpa jenuh dan tak ada jemu dalam mengguratkan segala sesuatunya. Ini adalah sebuah kisah yang unik yang mengatasnamakan persahabatan, pertemanan, dan percintaan, serta keluarga yang rumit. Rumit karena menyusunnya saja susah apalagi untuk mengerti dan memahami. Saya harap endingnya kelak memberikan alur yang jelas untuk kesekian episode yang telah jadi selama ini. Bukan sekadar kisah yang datar. Ini adalah kisah yang penuh liku, terjangan, dakian, dan tikung.
Pertanyaan makan, suap, kunyah, dan telan yang masih menjadi pertanyaan sepanjang episode nanti. Dengan nada keingintauanku kujawab dengan segara "Bisakah kau berkata tanpa menggunakan analogi yang begitu membingungkan?". Sedikit kutangkap inti yang masih belum bisa mewakili keempat kata tadi bahwa buat apa aku melakukan hal selama ini untuk orang lain sementara apa untungnya pada diriku?
Entah apa pula yang akan aku katakan karena sebenarnya esensi dari semua ini tak bisa kujelaskan kecuali kau yang menemukan jawaban yang kau inginkan tersebut. Itu adalah bagian dari kodratku sebagai seorang perempuan.
Langganan:
Postingan (Atom)