Kamis, 13 November 2014

Polisi vs Mahasiswa

Kembali mendapati potret yang tak seharusnya ada. Polisi, penyayom masyarakat dan mahasiswa, kaum intelektual bangsa. Ketika tindakan anarkis memberikan potret anarkis. Siapa yang harus disalahkan. Akan ambigu rasanya jika menyalahkan aparat atau menyalahkan mahasiswanya. Lantas, bagaimana polemik ini harusnya ditanggapi? Masing-masing pihak mungkin saja akan menyalahkan pihak lawan. Garis tebal untuk kata 'menyalahkan'. Tak akan ada titik penyelesaian yang real hanya dengan saling menyalahkan satu sama lain. Kemudian dari sisi awam masyarakat sebagai warga negara Indonesia, polisi vs mahasiswa bukankah akan mengarah pada penodaan karakter antara keduanya? Polisi akan ditanggapi. Mahasiswa akan ditanggapi. "Polisi untuk masyarakat" akan menjadi kata yang tak memertahankan maknanya. "Teriakan hidup mahasiswa, hidup rakyat" akan menjadi teriakan yang dipertanyakan untuk rakyat yang mana?.

Selasa, 11 November 2014

Hai

Hai,
Ingatkah kau
Sapaan yang membuka cerita?
Saat menjadi pengagum melelahkan
Saat menulis tentangmu yg tak acuhkan

CL

Lama baru bisa berkomentar setalah dapat rekomendasi untuk menonton sebuah film. Komentar kali ini bukan resensi film atau hal mengulas kelebihan kelemahan seperti yang biasa kujelaskan pada siswa.
Tenggangnya memang agak lama karena film tersebut lama baru saya dapatkan.
Mulai dari rasa penasaran saya tentang kisah yang konon mirip dengan apa yang pernah saya lalui. Tentu saya harus nonton untuk bisa membuktikan itu. Akhirnya, yang memberi rekomendasi datang dan mengantarkan file yang harus saya nonton.
Awalnya dengan perkenalan yang biasa-biasa saja. Saya pun mulai tahu siapa-siapa pelaku dalam cerita. Karena masih awal, pertanyaan saya masih saja belum terjawab. Setelah selesai, saya sedikit berpikir tentang sesuatu. Ketika pemberi rekomendasi menganggap bahwa itu adalah kisah yang sama maka ada kelegaan dari diri saya. Semoga yang dimaksudnya bukan hanya sebagian saja. Ada bagian yang ingin saya tandai, bagian yang pada akhirnya semoga juga tetap ada. Sempat memenuhi pekik, saat semua yang kulakukan terasa sia-sia saat apa yang pemberi rekomendasi telah dapatkan. Sepertinya dia telah membuat jarak. Bahkan, benak ini sempat menggumankan sebuah renungan bahwa "kau telah diperalat olehnya". Terlepas dari semua kata2 manis. Dia telah dapatkan yang diinginlannya. Kini, karena anggapan sang perekomendasi kisah kami sama. Saya merasa lega. Setidaknya, saya masih dianggap ada. Satu hal entah dia sadari atau tidak bahwa semua yang kulakukan buatnya. Segala yang berwujud bantuan itu adalah sesuatu yang memang ingin kulakukan dan harus kilakukan agar dia bisa menjadi lebih baik. Terlepas dari sakit yang kerap saya dapat karena melakukan hal tersebut, saya tetap tulus. *berhenti berdusta hal yg belum saya dapatkan.

Selasa, 04 November 2014

Requestions

Tiba-tiba dengan mimik tak karuan, ada hal yang membuncah, mencuak, dan meluap-luap memberi isyarat tak nyaman. Tahu hal yang seharusnya tak meenghadirkan gubris apa pun. Demikianlah seharusnya. Ini sungguh aneh. Keanehan yang timbul saat aku menyatakan penolakan keras terhadap simpati atau apa pun itu yang bisa membuatku tahu. Lebih aneh lagi saat tingkahmu seolah membenarkan mimikku. Oh perasaan apakah ini? Nadanya sungguh tak biasa. Dentuman tajam yang menggetarkan. Ini sebenarnya apa? Aku merasa takut. Kembali bertanya pada perasaanku? Perasaanku masih senada dengan pikiran, dan lisanku, tapi sorotmu membuatku goyah. Kebingungan apa ini saat kebulatan dan kulaskarkan diri ini siap dengan nama yang banyak mengisi hari-hariku. Apa ini? Aku kembali ingin menemukan jawaban analogi makan, suap, telan, kunyah yang membuatku semangat. *hal. 20 kisah violet

2 atau 3

Pagi ini
Pikir ini lengah
Semalam masih menyisakan lengah
Menilikik embun
Imajinasikan kamu, dia
Sampai detik ini
Kamu masih kamu
Sedang yang dekat masih dia
Menggunakan kata ganti saja
Masih seperti dulu
Hanya kisah yang berganti
Lemahkah tegasku?
Menentukan yang lebih banyak menempati ruang hati
Sedang kau hanya sisi pinggirannya kini
Tapi kau masih kesebut kau

Masih bercahaya

Aku kira kau kehilangan alasan tuk datang lagi menemuiku. Aku kira kau telah padam oleh masa. Aku kira kau tak lagi ada. Itu semua hanya praduga. Kau menyempatkan waktu untuk bersua. Memberiku sapaan yang telah lama kurindukan. Semakin membuatku bingung dengan tingkah itu. Dekapannya masih erat. Sorotnya masih tajam. Apakah aku tertipu atau memang demikian. Sesekali berusaha memalingkan pandanganku darinya. Sesekali berpikir tentang hal yang ingin kuketahui. Sesekali bertanya dengan lirih. Sesekali mengharap kau mengicaplan sesuatu agar aku tak bertanya, tapi entah apa. Aku tak dapati itu semua. Lebingungan malah kian memuncak. Apa dan bagaimana sebenarnya ini? Apa dan kenapa sebenarnya kita? Aku tak pernah mendapatkan jawabannya. Mendapat kesempatan untuk mempertanyalan langsung di depanmu pun tak bisa. Apalagi ketika kau jauh. Begitu banyak alasan tuk membuatmu tak menjawab. Bagaimana mungkin kau tetap mengenggam erat tanganku saat kau memandanginya. Bagaimana bisa ada getaran itu masih saja ada saat kita tak lagi bersama. Bagaimana bisa jabat tangan ini terasa kaku saat sorot bertemu. Adakah hal yang bisa kau simpulkan? Aku tak paham kecuali diriku sendiri yang hanya tetap menulis tentang alur demikian. Tapi kau? Bahkan padam pun kau masih memberiku bayangan. Dapat kuartikan itu masihlah belum pada. Apakah kau lupa? Selama bayangan itu ada kau tetaplah dengan cahayamu. Karena bayangan sekalipun yang tampak hitam lagi gelap tak akan mungkin ada tanpa cahaya. Aku masih menerima sinarmu.

Senin, 03 November 2014

10. Menunggu Maaf

Setelah menyandang sebutan suka memanfaatkan orang, apalagi yang harus dijadikan sebutanmu setelah menunjukkan hal-hal yang tak terduga lagi. Kata-katamu tak pernah kau tepati meski itu adalah janji yang begitu pasti dari mulut sendiri. Kemudian, sangat senang menciptakan situasi yang menghadirkan begitu banyak pertanyaan di kepala ini. Mulai hal-hal kecil sampai tingkah konyol yang menggelitik, bahkan dengan hal nekat yang tak harusnya kau tunjukkan lagi padaku. Mungkinkah kau tak pernah tahu bahwa itu semua membuatku begitu susah melangkah menjauh. Layaknya kakiku melangkah melewati kerikil tajam tanpa alas kaki. Sementara aku ingin berbalik itu jiga sangat menyedihkan karena harus pura-pura tidak tahu menahu tentang semua yang kau skenariokan dengannya. Ketika saya harus berdiam tanpa melangkah mundur atau maju, bukan hanya pura2 yang begitu menyiksa yang harus kulakukan, tapi harus berusa menolak kenyataan yang begitu pasti bahwa demikianlah kau sebagai violet yang tak tersketsa. Bahkan semua khayalan yang kerap hadir untuk menyenangkan atau membela ketidakinginanku tuk realita ini harus kuhancurkan.
Kamu hanya bisa menjalani tanpa memikirkan konsekuensi bukan? Membiarkan semuanya kau lalui sesukamu dan amnesia terhadap apa yang telah kau lewati. Sama sekali tak bisa belajar dari hal yang telah dilewati. Demikianlah, hingga aku pun kuga bisa memanggilmu si cuek. Bukan cuek sembarang cuek karena ini sungguh adalah cuek level tinggi. Bisa saja kau bahkan hiraulan dirimu sendiri, pikiranmu, tingkahmu, yang sangat miris adalah masa depanmu.
Bukankah itu konyol?
Sekonyol-konyolnya saya mengatakan apa pula pengaruhnya. Yang ada saya hari per hari dalam langkah maju melewati kerikil tajam itu justru melerai satu persatu kata maaf yang seharusnya kudengar darimu. Kata maaf tuk segala yang bahkan kau hapus dengan sekejap. Untuk menulis semua deretannya bahkan halaman yang kusiapkan tidak cukup. Kau hanya bisa tetap ada justru sangat menyakitkan. Kau punenghilang juga menyakitkan. Diammu juga membawa sakit. Apalagi ketika kau baru mau mengucap maaf, itulah yang paling menyakitkan. Mengalir bagai air muaranya ke hilir. Saya tak akan pernah paham tentang Anda. Bahkan, ketika kau berani berucap hanya akulah yang mengerti dan selalu ada. Mulai mrlupakan misiku. Bahkan, tuk melihatmu berubah sedikit pun itu tak bisa. Bagaima bisa kau bersikuku dan mengatakan akulah matahari, akulah malaikat, atau akulah dewi penolongmu. Sedang lelahku sama sekali tak kau lihat. Bagaimana pula kau katakan aku berbeda dengan siapa pun juga ketika kau samakan tingkahmu terhadapku maupun terhadapnya. Bagaimana mungkin kau menangis mengutarakan ketidaknyamananmu sementara kau genggang ketidaknyamanan itu. Bagaimana pula kau katakan menjauh sementara kau berjalan ke arahnya. Bagaimana mungkin kau bilang berpihak padaku dengan menikamku setiap saat? Bagaimana mungkin kau masih yang dulu sementara kau menjadi orang lain? Segalanya tak tersisa lagi. Leraian yang kudapati berbanding terbalik dengan asa. Mencoba tuk mengerti sekali pun tak pernah menjadikankuengerti. Kau tak akan pernah tahu. *Hal. 11 Kisah Violet