Senin, 03 November 2014

10. Menunggu Maaf

Setelah menyandang sebutan suka memanfaatkan orang, apalagi yang harus dijadikan sebutanmu setelah menunjukkan hal-hal yang tak terduga lagi. Kata-katamu tak pernah kau tepati meski itu adalah janji yang begitu pasti dari mulut sendiri. Kemudian, sangat senang menciptakan situasi yang menghadirkan begitu banyak pertanyaan di kepala ini. Mulai hal-hal kecil sampai tingkah konyol yang menggelitik, bahkan dengan hal nekat yang tak harusnya kau tunjukkan lagi padaku. Mungkinkah kau tak pernah tahu bahwa itu semua membuatku begitu susah melangkah menjauh. Layaknya kakiku melangkah melewati kerikil tajam tanpa alas kaki. Sementara aku ingin berbalik itu jiga sangat menyedihkan karena harus pura-pura tidak tahu menahu tentang semua yang kau skenariokan dengannya. Ketika saya harus berdiam tanpa melangkah mundur atau maju, bukan hanya pura2 yang begitu menyiksa yang harus kulakukan, tapi harus berusa menolak kenyataan yang begitu pasti bahwa demikianlah kau sebagai violet yang tak tersketsa. Bahkan semua khayalan yang kerap hadir untuk menyenangkan atau membela ketidakinginanku tuk realita ini harus kuhancurkan.
Kamu hanya bisa menjalani tanpa memikirkan konsekuensi bukan? Membiarkan semuanya kau lalui sesukamu dan amnesia terhadap apa yang telah kau lewati. Sama sekali tak bisa belajar dari hal yang telah dilewati. Demikianlah, hingga aku pun kuga bisa memanggilmu si cuek. Bukan cuek sembarang cuek karena ini sungguh adalah cuek level tinggi. Bisa saja kau bahkan hiraulan dirimu sendiri, pikiranmu, tingkahmu, yang sangat miris adalah masa depanmu.
Bukankah itu konyol?
Sekonyol-konyolnya saya mengatakan apa pula pengaruhnya. Yang ada saya hari per hari dalam langkah maju melewati kerikil tajam itu justru melerai satu persatu kata maaf yang seharusnya kudengar darimu. Kata maaf tuk segala yang bahkan kau hapus dengan sekejap. Untuk menulis semua deretannya bahkan halaman yang kusiapkan tidak cukup. Kau hanya bisa tetap ada justru sangat menyakitkan. Kau punenghilang juga menyakitkan. Diammu juga membawa sakit. Apalagi ketika kau baru mau mengucap maaf, itulah yang paling menyakitkan. Mengalir bagai air muaranya ke hilir. Saya tak akan pernah paham tentang Anda. Bahkan, ketika kau berani berucap hanya akulah yang mengerti dan selalu ada. Mulai mrlupakan misiku. Bahkan, tuk melihatmu berubah sedikit pun itu tak bisa. Bagaima bisa kau bersikuku dan mengatakan akulah matahari, akulah malaikat, atau akulah dewi penolongmu. Sedang lelahku sama sekali tak kau lihat. Bagaimana pula kau katakan aku berbeda dengan siapa pun juga ketika kau samakan tingkahmu terhadapku maupun terhadapnya. Bagaimana mungkin kau menangis mengutarakan ketidaknyamananmu sementara kau genggang ketidaknyamanan itu. Bagaimana pula kau katakan menjauh sementara kau berjalan ke arahnya. Bagaimana mungkin kau bilang berpihak padaku dengan menikamku setiap saat? Bagaimana mungkin kau masih yang dulu sementara kau menjadi orang lain? Segalanya tak tersisa lagi. Leraian yang kudapati berbanding terbalik dengan asa. Mencoba tuk mengerti sekali pun tak pernah menjadikankuengerti. Kau tak akan pernah tahu. *Hal. 11 Kisah Violet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar